Thursday 16 September 2021

Sebelum Mencicipi Kematian : Tranformasi Budi Si Korban Bullying


Sebelum Mencicipi Kematian merupakan sebuah kisah yang diawali dengan adegan perundungan. Budi merupkan anak tunggal yang dominan mendapatkan didikan dari ibunya. Sering ditinggal bertugas oleh sang ayah yang berprofesi sebagai polisi, Budi tumbuh menjadi anak yang berhati lembut dan tidak suka kekerasan.

Ibunya banyak memberikan ajaran moral yang membuatnya menjadi anak yang patuh pada orangtua. Namun ajaran yang ditanamkan ini menjadi boomerang saat ibunya sudah meninggal. Budi yang baik hati dipandang lemah oleh teman-temannya. Lebih memilih pasrah setiap kali diperlakukan kasar karena teringat ajaran ibunya bahwa perbuatan buruk akan membawanya pada dosa. Sayangnya kondisi ini tidak sepadan dengan perlakuan teman-temannya, Budi yang lemah sering di-bully dan pulang dengan tubuh lebam.

Sementara ayahnya yang kini menjadi satu-satunya keluarga, tanpa sepengetahuannya sedang menderita sakit perut yang dulu merenggut nyawa ibunya. Tidak siap menghadapi kenyataan, menjadi masalah besar bagi keluarga tersebut. Kisah ini sebenarnya lebih banyak mengangkat konflik pribadi para tokohnya.

Gejala post power syndrom sang ayah yang diperankan oleh Indra Pacique membuat emosinya tidak stabil. Kecemasannya semakin bertambah saat penyakit perut mulai menyerang tubuhnya. Begitu juga dengan Budi yang diperankan oleh M. Danias Rezky Abdillah tidak memiliki power di depan teman-temannya menjadi masalah baru bagi keduanya. Keinginan ayahnya untuk mengubah Budi menjadi lebih kuat dalam waktu singkat tidak berjalan mulus. Ayah Budi mengajarkan pada anaknya untuk melawan temannya dengan kekerasan pula.

Memang tidak ada yang salah, sebagai orangtua untuk tidak membenarkan perbuatan memukul orang lain. Demikian juga dengan terus bersikap lembut dan patuh pada orangtua sebagai tolak ukut agar anak bisa disebut memiliki perangai baik. Dalam kehidupan sosial, ajaran ini akan membuat anak selalu mengalah pula pada teman-temannya. Meskipun begitu, ketatnya persaingan hidup di masa kini, kebiasaan mengalah pada orang lain memberikan dampak yang kurang baik pula.

Psikolog Rosdiana Setyaningrum, M.Psi, M.HPEd menuturkan, sifat mengalah bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mengalah merupakan salah satu ajaran orangtua. Dengan mengalah, kebaikan hati terhadap orang lain akan terasah sekaligus kemampuan menghindari masalah akan terasah.

Kebiasaan mengalah akan menghilangkan jiwa kompetitif anak. Anak menjadi tidak percaya diri dengan kemampuannya sendiri. Sikap ini akan membuatnya tertinggal dibandingkan orang lain. Bahkan si pengalah akan selalu mempersilakan orang lain untuk berjalan lebih dulu di depan.

Sifat pengalah yang kurang efektif diajarkan pada anak, membuat Rosdiana menyarankan pada orangtua melatih anak memiliki kebaikan hati. Orangtua melatih anak untuk memiliki niat baik pada orang lain serta memberikan bantuan pada mereka yang membutuhkan. Ajaran ini sebaiknya diikuti dengan bagaimana mengukur kemampuan diri. Sehingga saat memberikan bantuan, anak tidak memberatkan diri sendiri.

Anak yang tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan akan tumbuh menjadi anak yang positif, baik secara pemikiran maupun perbuatan. Sebagai tambahan, anak diajarkan berjuang untuk hidupnya. Latih anak untuk tidak mudah mendapatkan apa yang dinginkan.

Ajarkan bahwa dia harus berusaha untuk mendapatkan keinginannnya. Kemudian latih anak untuk bisa meyakinkan pada anda bahwa apa yang diinginkan itu sesuai dengan kebutuhan dan masuk akal. Satu hal lagi yang tidak kalah penting menurut Rosdiana, berpikir sebelum bertindak dan meninmbang segala kemungkinan.

Gabungan dari ketiga sifat, kebaikan hati, berusaha untuk mendapatkan keinginannya, dan berpikir sebelum bertindak akan membuat anak tumbuh menjadi orang dewasa  yang mau berjuang untuk mendapatkan keinginannya dengan cara yang positif. Anak pun tahu kapan harus mengalah. Bukan untuk menghindari masalah atau mencari amannya saja, karena anak tahu bahwa orang lain lebih membutuhkan dan anak bisa mendapatkannya dengan cara yang lain.

Pada dasarnya perundungan atau bullying merupakan bentuk perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang memiliki kekuatan lebih besar daripada korban. Perilaku perundungan bisa berupa tindakan fisik maupun verbal yang dilakukan secara berulang-ulang. Jika dibiarkan terlalu lama, hal ini tentu akan mempengaruhi korban secara psikis maupun mental.

Perundungan terhadap anak ini bisa terjadi pada siapa saja, berapa pun rentang usianya. Sebagai orangtua pasti akan merasa kesal dan sedih kalau anaknya menjadi korban tindakan yang tidak semestinya. Oleh sebab itu, orangtua perlu melakukan beberapa hal sebagai bentuk perlindungan terhadap anak.

Begitu juga dengan karakter ayah dalam film Sebelum Mencicipi Kematian. Si ayah ingin menyiapkan mental anak untuk menghadapi perilaku tidak baik dari teman-temannya. Kurangnya bonding  terhadap anak membuatnya kesulitan menemukan cara yang bijak untuk menanamkan sifat pemberani pada anak.

Sebelumnya memang sudah ada film dengan tema sejenis, namun dalam Sebelum Mencicipi Kematian penulis cerita menyuguhkan dengan cara yang berbeda. Kreator lebih menekankan pada konflik pribadi masing-masing karakter. Tanpa disadari konflik ini menyebabkan anak menjadi korban perundungan.

Kasus perundungan memang sudah sejak lama menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Bahkan dalam kurun waktu sembilan tahun, dari 2011 sampai tahun 2019, ada sebanyak 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk perundungan baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.

Menurut Jasra Putra, Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, fenomena kekerasan terjadi saat anak yang terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Artinya anak tidak diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan dengan baik, namun memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian.

Akibat dari tindak kekerasan yang dilakukan anak, tidak hanya berupa luka fisik tapi juga secara psikis. Luka fisik bisa dicari obatnya, namun untuk luka batin tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Jasra Putra juga menuturkan, setelah peristiwa terjadi, kita dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya pada anak sehingga menjadi pelaku bullying.

Oleh karena itu, Jasra mengatakan bahwa semangat Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam melihat anak-anak yang melakukan kejahatan dalam hukum bukan sebagai subyek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya.

Pasal 9 Undang Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam ayat (1a) menyatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.

Berdasarkan pasal diatas, perlindungan anak terhadap perundungan tidak cukup hanya dilakukan oleh orangtua dan guru konseling. Apalagi jika dibebankan juga dengan mengajar. Perlu adanya peran psikolog yang memiliki metode yang baik dalam membaca kejiwaan anak dengan metode menulis, menggambar, wawancara, dan pendekatan personal dalam menggambarkan kejiwaan anak-anak. Hal ini akan membantu guru konseling sebagai pihak sekolah maupun orangtua dalam menyelamatkan anak-anak dari perundungan.

Sebelum Mencicipi Kematian dikemas dengan setting yang sangat apik. Keseluruhan cerita pun bisa digambarkan dengan baik oleh karakter yang terbatas. Saat ini film yang berdurasi lima belas menit ini masih bisa disaksikan di Genflix.

 

 

No comments:

Post a Comment

10 Rekomendasi Kampus S2 Bisnis Terbaik di Australia

  Unspalsh : Fabian Mardi Australia merupakan salah satu negara yang perekonomiannya berkembang dengan pesat. Begitu pula dengan pendidikann...