Sunday, 17 September 2017

Bullying


Kemala dan dua temannya masih terus mengumpat di depan wajahku. Tatapan mata sinis terus tertuju padaku. Bibir mencibir, sudah mirip seperti mulut bebek. Penampilan mereka memang diatas rata-rata siswa di sekolah ini. Semua orang tahu siswi berambut panjang ini adalah putri pemilik sekolah ini. Sebuah sekolah swasta berstandar internasional.

Jalur beasiswalah yang membuatku terdampar disini. Berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Hanya otaklah yang bisa kupakai untuk memperjuangkan masa depanku. Ternyata tidak mudah. Semua itu menjadi boomerang sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini.

Penampilanku yang sederhana membuat mereka seperti melihat alien. Aku terlihat aneh di mata mereka yang berpenampilan dengan fasilitas mahal.

Ditahun kedua aku belajar disini, sikap mereka tidak berubah sedikit pun. Hatiku selalu geram setiap mendengar atau bertemu dengan mereka. Selama ini aku hanya diam. Mendapat sikap kasar sudah seperti makanan sehari-hari di sekolah. Tapi hari ini ucapan Kemala sudah melewati batas kesabaranku.

"Hei, anak orang miskin! Kok bisa kamu mendapat beasiswa disini?"

Darahku mendidih. Ucapan Kemala berhasil membuat merah telingaku. Kutatap tajam mata Kemala.

"Orang tuaku memang miskin tapi mendidik anaknya untuk kaya akhlaq dan otak. Sebaliknya dengan kamu, orang tuamu kaya harta tapi membuatmu miskin akhlaq," kutinggalkan mereka bertiga di lorong sekolah.

Filth


Bedah Adegan
Filth

Aku sendang menaiki tangga bersama Amanda. Tiba-tiba kurasakan sesuatu dalam diriku, hingga membuatkau terduduk.

Kukatakan pada Amanda, "Tadinya aku hebat dalam hal ini, Amanda."

Kulihat wajah Amanda kaget setelah melihat kondisiku yang tertekan. Kucoba membicarakan apa yang kurasakan padanya.

"Awalnya aku adalah orang yang baik."

"Iya, aku tahu." jawab Amanda dengan masih berdiri di tangga dan menoleh ke arahku. Jawabannya terkesan hati-hati dan khawatir akan keadaanku.

"Apakah kamu sudah punya istri, Bruce?" tanyanya ragu sambil duduk mendekatiku.

"Ya." Aku teringat hal buruk yang terjadi pada diriku.

"Kamu sudah punya anak?" tanyanya kemudian, sepertinya Amanda merasakan perubahan pada wajahku.

"Stacey." jawabku sambil tertawa. Kudengar yang keluar dariku bukan tawa bangga karena mempunyai Stacey, tapi lebih kepada ratapan atas apa yang terjadi dalam hidupku.

Air mata mengalir deras di kedua pipiku. Kurasakan raut wajah Amanda yang menunjukkan keprihatinan. Aku merasakan kesedihan yang mendalam. Kehilangan. Marah pada diri sendiri.

"Kurasa mereka telah meninggalkanku." ucapku.

"Kurasa keluargaku telah meninggalkanku." lanjutku terbata-bata.
"Aku tak tahu bagaimana."
"Aku tidak bisa mengingat apa alasannya."

Kurasakan air mataku semakin deras mengalir. Pikiran buruk ini tidak pernah berhenti bersarang di otakku. Aku merasa sudah tidak mempunyai siapa pun di dunia ini. Semua telah meninggalkanku. Ini membuatku merasa tidak berguna.

"Oke." kata Amanda berusaha memahamiku dengan perhatian yang tak luput dari wajahku.
"Kau lihat, ada sesuatu yang aneh padaku? Ada sesuatu yang salah pada diriku?" ucapku seperti ingin mendapatkan pembenaran.

"Apakah kamu sudah menemui seseorang? Kau sudah ke dokter?" tanyanya iba setelah melihat perubahan yang ada di wajahku.
"Iya."
"Iya?" tanyanya meyakinkan seakan tak percaya.
"Tidak, aku tidak tahu." ucapku ragu. Aku tak mampu mengingatnya.
" Aku tidak tahu." kuulangi perkataanku untuk meyakinkannya. Aku merasa ketakutan. Banyak tekanan yang kurasakan pada diriku. Kutundukkan wajah, kemudian kuseka air mataku yang tidak berhenti mengalir sejak tadi.

"Aku berkuasa atas investigasi ini." kataku meyakinkan.
"Aku berkuasa atas investigasi ini. Dan jangan pernah kau lupakan itu!"
"Oke, Bruce. Coba kau dengarkan aku. Kau bisa mendengarkau?" ujarnya seperti ingin membantu dan menenangkanku.
"Aku sangat mengkhawatirkanmu. Kurasa kau sedang tidak sehat."

"Pergi ke atas dan berhenti bermain-main dengan psikolog brengsek, dasar penyihir!" bentaknya sambil berdiri dan meninggalkan Amanda.
Kulihat, dia terkejut dengan reaksiku. Terpaku. Tak mampu melakukan apapun untuk sekedar mencegahku.

Saturday, 16 September 2017

Secret Admire


Baju seragam yang dikenakan Amara masih basah kuyub. Ini bukan pertama kalinya dia mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari Metta. Gadis berjilbab ini hanya diam. Semakin dia berontak dan melawan maka perbuatan teman sekelasnya ini akan semakin parah. Dibersihkannya baju yang basah itu dengan menggunakan tisu. Tetap saja tidak akan kering, karena air yang disiramkan cukup banyak.

Metta tertawa puas di depan Amara. Tatapan sinisnya tidak luput dari pemandangan yang ada di depannya. Dilihatnya tubuhnya yang basah dari atas ke bawah. Dia selalu saja mempunyai alasan untuk menyiksa gadis pendiam ini.

Secara fisik gadis berkulit putih ini memang terlihat sempurna. Rambutnya yang sepinggang menjuntai hitam legam. Banyak cowok di sekolah ini yang tertarik padanya. Tapi dia tidak pernah mau. Metta hanya menginginkan David. Cowok sederhana yang tidak silau dengan kecantikan Metta. Sahabat Amara ini memang beda dari cowok lain yang ada di sekolah ini. Dia mempunyai prinsip untuk tidak berpacaran lebih dulu.

Namun Metta beranggapan, Amara-lah yang menjadi penghalang misinya untuk mendekati David. Berulang kali Amara menjelaskan ini pada Metta tapi dia tidak pernah mau mengerti. Selalu bully-an dan siksaan yang didapatnya dari Metta.

Gadis anak pengusaha kaya ini selalu memilih tempat yang tepat untuk melancarkan aksinya. Seperti kali ini, taman sekolah di belakang kelasnya. Amara selalu melewati tempat itu untuk mengambil sepeda motor yang diparkirnya saat jam sekolah berlangsung.

"Kenapa kamu tidak jera juga?" Bentak Metta

"Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa kenapa harus jera?" Amara berusaha membela diri.

"Kamu tidak pantas untuk David. Jangan pernah coba menghalangiku!"

"David memang tidak tertarik padamu dan kami hanya bersahabat."

Tanpa Metta sadari David datang dari arah belakangnya. Dia berhenti sejenak untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Metta.

"Mana ada cowok yang tidak tertarik padaku di sekolah ini. Beda sama kamu, kamu itu dekil dan item. Nggak akan ada yang menyukaimu di sekolah ini," hardik anak tunggal ini.

Kemauannya memang selalu dituruti oleh orang tuanya sejak kecil. Inilah yang membuatnya selalu berambisi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Ada, Met. Aku orangnya." Ucap David pendek, membuat Metta kaget dan mencari dari mana arah suara itu.

Amara pun terkejut melihat apa yang diucapkan David ini. Dia berusaha memberi kode pada David agar tidak mengatakan macam-macam di depan Metta. Karena ini akan berujung siksaan yang lebih kejam lagi.

Tapi sepertinya David tidak mengindahkan hal itu. Cowok bertubuh jangkung ini malah melanjutkan, "Aku serius Met. Itu alasannya kenapa aku tidak pernah mau menerimamu. Aku mempunyai prinsip untuk tidak berpacaran selama masih sekolah. Dan aku akan melamar Amara setelah lulus kuliah nanti."

Mata Metta terasa panas mendengar ucapan David. Impiannya sirna sudah. Taman hijau itu seperti menjadi saksi hancurnya hati Metta. Buliran bening mulai mengalir di kedua pipinya. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia pasti sedang salah dengar. Dadanya bergoncang menahan tangis yang hampir meledak.

Begitu juga Amara, dia seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia merasa David hanya menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat.

'Mungkin David sedang berusaha melindungiku,' pikir Metta.

Apapun alasan David, sempat terselip rasa bahagia di hatinya. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Selama ini dia hanya mengagumi David dalam diam.

David segera meraih tangan Amara. Ditariknya Amara menuju area parkir. Dan mereka beriringan, pulang dengan sepeda motor masing-masing. Di depan pintu gerbang mereka sempat bertemu sopir Metta yang masih setia menunggu disana.

Lost



Kanvas yang ada di depan Kugy masih bersih. Tak ada satu warna pun yang tergores di sana. Tatapan mata masih tertuju pada easel yang tertutup kain putih. Meja yang ada di sebelah kirinya hampir penuh dengan cat minyak yang berserakan. Palet masih berada di genggaman tangan kirinya.

Disaat seperti ini hanya bayangan mamanya yang muncul di benak Kugy. Senyum wanita yang telah melahirkannya itu mampu memberikan suntikan semangat. Kerinduannya pada mama, membawa kenangan masa kecil muncul lagi di benaknya. Tak terasa kristal bening mulai mengalir di kedua pipinya. Kini mamanya sudah tenang di sisi Tuhan.

Tangan kanan Kugi mulai menari diatas kanvas. Kuas kesayangannya silih berganti menorehkan beberapa warna.

"Siapa yang kamu lukis, Kugy?" muncul sebuah suara yang sangat dikenalnya dari belakang.

Kugy tersentak, segera diusapnya air mata yang tersisa di pipi. Dia baru tersadar dengan apa yang telah dilukisnya.

"Ehm...anu Pa," jawabnya tergagap.

"Kamu kangen sama mama?"

"Iya Pa, besok pertama kalinya mama tidak menemaniku ikut kompetisi lukis."

Tangis Kugy mulai pecah dipelukan papanya. Kali ini dia merasa harus berjuang sendiri. Kepergian mamanya membuat Kugy merasa sangat kehilangan.

"Kamu harus terus berjuang, Kugy. Buatlah mama bangga. Tunjukkan bahwa usaha mama selama ini tidak sia-sia."

"Iya, Pa."

"Papa akan selalu menamimu, menggantikan mama," ucap pria separuh baya ini berusaha mengembalikan semangat putri yang dicintainya.

Kugy kembali memberi warna pada kanvas di depannya. Dia tidak ingin terpuruk terlalu lama. Hanya perlu satu alasan, dia tak ingin mengecewakan mamanya.

Friday, 15 September 2017

Negeri Chora


Louis melangkahkan kakinya di lorong rak buku. Tubuhnya yang pendek tak mampu menjangkau buku yang berada di tiga rak diatas kepalanya. Tak ada seorang pun yang berada disitu.

Kedua kaki gadis berambut sebahu ini memanjat rak paling bawah. Tangan kirinya bertumpu pada sap yang sejajar dengan dadanya. Dihirupnya napas dalam untuk mengumpulkan tenaga. Tangan kanannya perlahan naik ke atas. Meraih buku bersampul merah maroon.

Naas. Tiba-tiba rak bergerak. Kedua tangan Louis berpegang erat pada rak yang terdorong masuk. Rak itu berputar. Semua berubah menjadi gelap. Hanya ada satu sumber cahaya tepat di depan mata gadis bermata biru ini. Didekatinya asal cahaya itu.

Mata Louis melebar, hampir saja keluar dari cangkangnya. Seperti tak percaya. Mulutnya membentuk sebuah lubang. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan putih. Pepohonan menjulang tinggi tertutup kristal putih.

"Akhirnya kamu datang juga."

Louis masih mencari dari mana asal suara itu. Tak lama kemudian seekor rubah melompat tepat di depannya. Gadis ini bergerak mundur dari tempatnya berdiri. Terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Kamu siapa?" tanya Louis.

"Aku, Teumessos. Kamulah yang bisa menyelamatkan bangsa kami dari Drakon."

"Aku tak mengerti," kata Louis.

"Ikuti aku. Waktu kita tak banyak."

Rubah itu berjalan ke arah sebuah lubang. Tubuh Louis tidak terlalu sulit masuk ke dalam lubang yang setinggi dadanya itu.

"Ambil tongkat kecil itu! Putar tiga kali dan tunjukkan ke arah patung wanita itu."

"Siapa patung wanita itu?"

"Dia, ratu kami. Dia dikutuk Drakon dan membatu. Cepat lakukan sebelum Drakon menemukanmu!"

Louis hanya mengikuti apa yang dikatakan Teumessos. Mata patung tiba-tiba bersinar, tak lama setelah tongkat kecil itu diarahkan ke patung.

Monday, 11 September 2017

The Perfect Twilight


Perasaanku semakin tidak menentu saat mendekati hari kepulangan Randu dari Jepang. Selama dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Namun hampir setiap hari, aku mendapatkan telepon atau sekedar pesan singkat dari pria bertubuh jangkung ini. Puti, sahabatku, mengenalkanku pada Randu. Aku bertemu Randu secara kebetulan menghadiri pesta pernikahan Puti. Tidak ada yang spesial, aku hanya menemukan teman yang mempunyai kesukaan sama, menikmati senja.

Terik matahari tidak menyurutkan niatku untuk menjemput Randu di bandara. Taksi yang aku tumpangi terasa lambat sekali jalannya. Kulempar pandangan keluar, tidak sedikit orang berebut jalan disana. Kendaraan roda dua yang memaksa melewati sela-sela mobil. Sengatan panas matahari yang menembus kulit membuat mereka tidak sabar menunggu antrian panjang lampu merah.

Ingatanku tak bergeser sedikit pun dari siluet wajah Randu. Menikmati senja dengan diam. Akulah yang mendominasi pembicaraan. Wajahnya yang dingin tidak banyak memberikan reaksi apa-apa. Hanya sesekali saja tertawa mendengar celotehanku. Memperlihatkan deretan giginya yang putih. Matanya yang hitam tiba-tiba bersinar.

"Aku akan berangkat ke Jepang dua hari lagi," ucapnya memecah keheningan.

Tenggorokanku tercekat mendengarnya. Matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat. Angin mulai bertiup, menambah beku hatiku. Entah perasaan apa ini. Kutundukkan wajah untuk sekedar menutupi perasaanku. Ini baru pertemuan keduaku, aku tidak boleh terlalu tinggi berekpektasi.

"Kenapa melihatku seperti itu?"hardikku setelah sadar, ternyata Randu memperhatikan wajahku dalam hitungan menit.

"Aku ingin merekam wajahmu diotakku. Mungkin kita tidak akan bertemu dalam waktu yang lama, Gayatri."

Detak jantungku semakin cepat mendengar ucapan pria yang baru dua kali bertemu denganku ini. Tak sedetik pun berani kubalas tatapan matanya. Semakin ingin kusembunyikan mendung di hatiku.

Air mukanya begitu tenang. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Meneduhkan sekaligus membuatku merasa kehilangan. Hari semakin gelap, pria berkulit putih ini mengajakku makan malam sebelum kami berpisah. Rasanya aku tak ingin membiarkannya pergi.

Aku duduk di salah satu bangku yang ada di ruang tunggu penjemputan. Hampir penuh. Orang-orang yang ada disitu melakukan apa saja untuk mengusir kejenuhan. Dua anak berlarian mengelilingi bangku. Mereka selalu punya cara sendiri untuk bahagia.

Aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku menyetujui permintaan Randu untuk menjemputnya. Selama ini tidak ada hal yang kami bicarakan mengenai perasaan. Hanya hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kami masing-masing. Masa depan yang sedang kami untai. Hubungan kami dengan orang-orang terdekat kami. Hanya itu.

Hari sudah menjelang sore saat kulihat pria yang menggendong tas ransel dan menenteng sebuah koper kecil. Senyumnya merekah saat keluar dari pintu kedatangan. Pandangan matanya menemukanku yang duduk di ruang tunggu paling depan. Berlari kecil menghampiriku seakan takut tidak bisa melihatku lagi. Tatapan mata itu masih sama seperti yang kurasakan dua tahun yang lalu.

"Ayo ikut aku," ajaknya sambil menggandeng tanganku tanpa meminta persetujuanku lebih dulu.

"Kita mau kemana?"

"Sudah ikut saja," ucapnya singkat.

Kenapa pria ini misterius sekali. Banyak hal yang disimpannya. Tanpa protes sedikit pun aku mengikuti langkah Randu. Tak banyak yang kami bicarakan selama berada di dalam taksi. Tanganku masih dalam genggamannya. Sesekali kuperhatikan wajahnya. Senyum tipis itu terus mengembang di bibir.

Taksi berhenti tepat di depan pintu gerbang Candi Boko. Hari sudah sore, namun masih banyak pengunjung yang belum pulang. Tempat ini memang mempunyai keunikan tersendiri dalam menyajikan senja. Aku duduk tepat ditempat, aku menghabiskan senja bersama Randu waktu itu. Seperti tidak ada jarak diantara kami.

Kehangatan kilau senja masuk sampai ke hatiku. Begitu hangat. Hatiku terasa meletup-letup. Masih kubiarkan genggaman tangan Randu yang tidak lepas dari tangan kiriku. Kurasakan aliran darah yang menuju ke otakku. Aroma parfum maskulin dari pria yang duduk disebelahku ini begitu kuat menusuk ke hidungku.

Matahari semakin turun ke arah barat, berubah menjadi semburat keemasan. Senja yang sempurna. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Hampir setiap orang yang ada disitu terpana dengan suguhan alam yang akan sulit dilupakan bagi yang beruntung bisa menikmatinya itu. Termasuk aku. How lucky I am?

Mataku tak lepas dari keindahan alam ciptaan Tuhan itu. Kurekam apik setiap detil apa yang ditangkap netraku. Aku tidak mau melewatkan, sinar yang mampu membuat jingga apa saja yang diterpanya. Ini hanya akan berlangsung dalam hitungan menit. Aku terlalu menikmati pikiranku sendiri dan tidak menyadari saat Randu sudah jongkok di depanku.

"Gayatri, kamu mau menikah denganku?" kalimat pendek ini mampu mengalihkan perhatianku.

Tak ada yang bisa keluar dari mulutku. Senja itu semakin terasa indah. Sempurna. Air mulai menggenang di kelopak mataku. Perlahan jatuh membasahi pipi. Sekian detik aku tak bisa memberikan reaksi apapun pada apa yang telah dikatakan Randu.

Masih banyak yang ingin kupertimbangkan. Keputusan yang akan merubah kehidupanku. Kulihat di depanku bukan pria sempurna seperti yang aku impikan selama ini. Tapi kehadirannya selalu mampu membuat pikiran dan hatiku hidup. Apakah aku mampu jika harus kehilangan semua yang telah mewarnai hidupku. Jika aku menemukan cinta pada pria yang kuanggap tidak sempurna maka akan kusempurnakan cintaku.

Hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan. Air mata masih saja membasahi pipiku. Kini sudah tersemat cicin dijari manisku. Kulihat, tidak hanya mata Randu yang bersinar, wajahnya juga berseri. Kuseka pipiku yang basah. Aku tidak mau merayakannya dengan tidak berhenti menangis.

"Besok aku akan menemui orang tuamu. Satu tahun lagi aku akan lulus. Aku sudah sign kontrak dengan salah satu perusahaan disana. Kamu mau ikut aku ke Jepang?"

"Tentu saja," kueratkan genggaman tangan Randu. Kudengar dia menghela nafas lega. Senyumnya kembali merekah.

Kali ini Tuhan memberiku kesempatan untuk menikmati senja yang sangat sempurna.

Thursday, 7 September 2017

Ryoto Masaki


Aku belum lama mengenalnya. Namun ada satu hal yang selalu menarik perhatianku. Rambutnya tidak pernah lebih panjang sampai menutupi leher. Kesan maskulin terlalu kental melekat pada namanya. Tatapan matanya tajam. Membuat siapa pun tak mampu berkilah jika sudah berhadapan dengannya.

Otaknya mampu merekam apa saja yang sudah dilihat dan didengarnya secara detail. Jenius. Itulah kesan yang pertama kali kudapatkan pada dirinya sejak setahun yang lalu. Di usia yang masih muda, sudah banyak kasus besar yang berhasil diungkapnya. Orang lain belum tentu bisa melakukannya. Itulah yang membuat dia berdiri di tempat ini sekarang.

Lokasi kumuh tempat ditemukannya mayat seorang milyader negri ini. Identifikasi kasus pembunuhan berantai membuat mayat Pak Johan terdampar di sebuah TPU. Ryoto hanya menggunakan sebuah masker tipis untuk menghindarkan diri dari bau busuk di sekitarnya. Aku yakin aroma yang tidak sedap itu mampu merusak paru-parunya jika dia bertahan disini lebih lama. Sepatu boot hitam yang menopang tubuh semampainya, mampu membuat gadis ini seperti seorang model kelas atas.

"Seharusnya kau tidak disini. Kau lebih pantas berjalan di red carpet," selorohku sambil memunguti barang bukti.

"Aku hanya mengikuti ambisi ayahku. Mencoba membuatnya tidak kecewa dengan menempelkan nama Misaki di belakang nama depanku," jelasnya sambil mengernyitkan dahi dan berlalu dari hadapanku.

Monday, 4 September 2017

Posesif


Kupandangi cewek berambut sebahu di depanku. Sepertinya aku belum pernah melihatnya. Wajahnya tirus, tidak cantik tapi menarik. Lumayan modis tapi masih terlihat simpel. Aku belum pernah melihat sebelumnya. Jam tangan berkalep besar terbuat dari kulit dengan merk ternama tersemat di lengan kirinya.

Tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Sudah tiga hari ini kuperhatikan, sepertinya memang dia lebih suka menyendiri. Setiap jam istirahat hanya duduk sendiri di taman sambil membaca buku. Seperti tak peduli dengan yang ada di sekitarnya. Hanya sesekali membalas sapaan siswa lain yang lewat di depannya. Banyak cewek di sekolah ini yang kudekati tapi cewek yang kulihat sekarang berbeda.

"Cie...ada sasaran baru sepertinya. Namanya Nadia, siswi baru pindahan dari Bandung." ucapan Danu mengagetkanku.

"Bisa aja. Oh, pantes. Aku baru melihatnya. Kok kamu tahu Dan?"

"Apa sih yang Danu nggak tahu? Udah bosen sama Sarah?" tanya Danu sambil nyengir.

Aku hanya tersenyum membalas pertanyaan Danu. Tak ada yang bisa kusembunyikan dari sahabatku ini. Hubunganku dengan Sarah memang belum lama. Baru tiga bulan, masih seumur jagung. Tapi aku sudah merasa tidak nyaman pacaran dengannya. Ambisinya untuk menjadi pacarku terlalu besar. Inilah yang membuatnya posesif.

Gayanya yang fashionable malah bikin aku bosan. Aku sudah malas-malasan kalau diajak bertemu Sarah. Walaupun cuma sekedar makan. Tidak ada bahasan menarik yang bisa diucapkannya selain tentang shopping. Sepertinya isi otak ceqek centil ini hanya berisi baju saja. Aku sendiri lebih memilih main game daripada menemaninya shopping.

Bel sudah berbunyi. Waktunya istirahat kedua. Aku berjalan menuju kantin. Hari yang panas berhasil membuat tenggorokanku kering. Kubeli minuman rasa jeruk untuk menghilangkan rasa hausku.

Mataku berputar mencari tempat duduk. Kupesan mie goreng untuk mengganjal perutku. Pandangan mataku berhenti dipojok ruang kantin. Ada Nadia disana, sedang mengunyah makanannya. Sebuah buku masih terbuka disisi sebelah kiri mangkoknya yang berisi bakso.

Kubawa minumanku menuju ke meja Nadia. Sepertinya dia tidak tertarik dengan kedatanganku di mejanya dan terus menyuapkan bakso ke mulutnya.

"Boleh duduk disini?" sapaku seramah mungkin. Sebenarnya aku malas kalau harus basa basi seperti ini.

"Boleh. Ini kan tempat umum." jawabnya sambil tetap menikmati bakso di depannya.

"Oh ya, aku, Raditya." ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Nadia." jawabnya singkat sambil mengulurkan tangan untuk menjawab salamku. Pesananku datang. Mie goreng telur.

"Sudah berapa hari pindah kesini?"

"Baru tiga hari." lagi-lagi pertanyaanku hanya dijawab dengan singkat.

"Oh, ternyata disini ya Dit. Aku nyariin kamu kemana-mana. Malah enak-enakan makan disini sama cewek lain." tiba-tiba suara Sarah menyambar seperti petir di telinga kananku.

Mukaku terasa panas. Malu. Hanya itu yang kurasakan. Sikap Sarah yang seperti ini membuatku tidak tahan bersamanya. Kulihat sekilas wajah Nadia, dan yang tampak hanya mulutnya yang mengunyah sisa-sisa bakso. Matanya terbelalak dan pandangannya tak lepas dari wajah Sarah. Kemudian berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Sarah! Kamu sukses membuatku malu. Aku cuma makan saja. Baru kali ini aku ngobrol sama Nadia. Dan sikap kamu sudah berlebihan. Aku sudah tidak tahan dengan sikapmu!" tanpa mempedulikan reaksi Sarah, aku pergi meninggalkannya.

Saturday, 2 September 2017

Kepergian David


Lani memasukkan baju David ke dalam koper hitam. Barang yang akan dibawa cukup banyak. Untuk pertama kali, putra semata wayangnya meninggalkan rumah sendirian dalam waktu yang lama. Berkali-kali wanita bertubuh ramping itu mengecek isi koper. Takut ada yng tertinggal.

Air menggenang di pelupuk matanya. Rumah ini akan sepi tanpa David. Tinggal berdua saja dengan suaminya. Tidak ada lagi rengekan manjanya. Hatinya seperti dipukul godam besar. Sesak, seakan nafas terhenti. Sepertinya David merasakan kesedihan ibunya. Dia memeluk wanita yang telah melahirkannya ini. Pelukan yang lama, seperti enggan melepaskan. Erat, hingga dia bisa merasakan detak jantung wanita paruh baya ini. Matanya memerah. Berat rasanya meninggalkan tempat dimana dia dibesarkan.

Tubuh Lani bergetar. Dikumpulkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dia tidak mau David melihat kesedihannya. Ditanamkan ke dalam pikirannya, bahwa kepergian David yang hanya beberapa bulan saja. Dia akan kembali, delapan bulan lagi.

Cium hormat David berikan pada wanita berambut panjang ini. Direkamnya baik-baik wajah ibunya. Badan yang dulu padat berisi kini terlihat lebih kurus. Kulit keriput tidak melunturkan keanggunan wanita yang sangat dia sayangi ini. Sesekali dipalingkan wajahnya, untuk menutupi perasaan kehilangan di hatinya.

"Aku akan segera pulang, Ma," ucapnya terdengar seperti menghibur diri sendiri.

"Eropa itu jauh, Nak. Kamu nggak mau berlayar di Asia saja, yang lebih deket?"

"Nggak usah khawatir, Ma. Aku bisa jaga diri. Kesempatan untuk meraih karir lebih besar disana, Ma," ucap David. Wajahnya masih menunduk. Berat rasanya meninggalkan rumah.

Rekomendasi Dompet Wanita Terbaik, Premium dan Fashionable

  Foto : freepik Dompet merupakan salah satu aksesoris penting bagi wanita. Tidak hanya berfungsi untuk menyimpan uang, kartu, dan barang be...